Pedoman penatalaksaan koinfeksi malaria dan hiv

Pedoman penatalaksaan koinfeksi malaria dan HIV
Malaria Plasmodium falciparum dan HIV dua-duanya menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna, terutama di Afrika sub-Sahara. Akibat tumpang-tindih yang bermakna ini, interaksi yang hanya kecil sekali pun dapat menjadi penting bagi kesehatan masyarakat. Penelitian awal tidak mengetahui interaksi yang penting antara malaria dan HIV1,2. Namun, bukti yang lebih baru mendukung keberadaan dampak masing-masing infeksi pada yang lain3. Epidemiologi
P. falciparum, P. vivax, P. ovale, dan P. malariae, serta spesies malaria yang baru-baru ini ditemukan pada manusia, yaitu P. knowlesi, berbeda dari sisi distribusi geografis, penampilan mikroskopis dan ciri-ciri klinis. Walau infeksi P. Vivax lebih lazim, di seluruh dunia, malaria P. Falciparum menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling berat karena kecenderungannya untuk menimbulkan infeksi yang berat atau gawat. Malaria umumnya menular melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. betina yang terinfeksi. Penularan infeksi non-nyamuk (dari ibu-ke-bayi, transfusi) kurang sering terjadi 4-6. Penularan malaria sudah terjadi di 107 negara dan di seluruh wilayah dunia7. Tiga puluh enam persen populasi global tinggal di daerah berisiko penularan malaria8. Setiap tahun, diperkirakan 300-500 juta kasus malaria klinis terjadi, sehingga malaria menjadi salah satu penyakit menular yang paling prevalen9. Kurang lebih 80% dari sekitar satu juta kematian disebabkan oleh malaria setiap tahun terjadi pada anak di Afrika7. Jenis sindrom klinis disebabkan oleh malaria tergantung pada apakah pasien berasal dari daerah penularan malaria endemis stabil atau dari daerah penularan labil (jarang atau sangat rendah)10. Di daerah endemis stabil, anak kecil (berusia di bawah lima tahun) dapat mengalami infeksi kronis dengan parasitemia berulang, yang mengakibatkan anemia berat dan sering kematian. Anak yang bertahan terhadap infeksi ulang ini mendapatkan kekebalan parsial pada usia lima tahun, dan, apabila mereka tetap tinggal di daerah endemis malaria, mereka mempertahankan kekebalan ini sampai masa dewasa. Orang dewasa di daerah endemis stabil umumnya mengalami infeksi tanpa gejala atau lebih ringan. Di daerah penularan labil, kekebalan tidak didapat. Di daerah ini, mayoritas manifestasi klinis adalah penyakit akut berdemam yang dapat disertai dengan malaria serebral, yang mempengaruhi orang dengan semua usia. Ibu hamil di daerah penularan labil dapat mengalami malaria akut, aborsi spontan dan lahir mati. Di daerah dengan penularan lebih stabil, ibu hamil dapat mengalami kehilangan kekebalan parsial yang didapat. Walau infeksinya mungkin tanpa gejala, perempuan yang mendapat malaria pada plasenta yang menyokong pertumbuhan intrarahim yang lambat, berat badan rendah waktu lahir, yang disertai risiko mortalitas anak yang lebih tinggi. Dampak HIV pada malaria
Parasitemia dan keparahan klinis. Penyakit HIV merusak kekebalan yang didapat terhadap malaria
yang ditemukan pada anak yang lebih tua dan orang dewasa di daerah endemis. Penelitian kohort yang
baru menunjukkan bukti adanya peningkatan frekuensi baik parasitemia maupun malaria klinis (dengan
angka dua atau tiga kali lipat lebih tinggi) pada orang dewasa terinfeksi HIV, dengan risiko semakin
tinggi dan kepekatan parasitemia yang lebih tinggi dikaitkan dengan tekanan kekebalan yang lebih
lanjut11,12. Angka malaria yang lebih tinggi pada Odha tidak setinggi seperti yang diamati dengan infeksi
oportunistik klasik misalnya TB dan PCP13.
Pada penelitian kohort secara prospektif di daerah penularan malaria labil, orang dewasa terinfeksi HIV yang tidak kebal berisiko lebih tinggi untuk malaria berat, dan tingkat risiko dikaitkan dengan jumlah CD4 yang rendah14. Pasien terinfeksi HIV yang tidak kebal lebih mungkin secara bermakna untuk mendapat malaria klinis yang berat dibandingkan pasien tidak kebal tanpa HIV. Di daerah penularan malaria labil yang lain, orang dewasa terinfeksi HIV yang dirawat inap untuk malaria lebih mungkin secara bermakna meninggal atau membutuhkan perawatan intensif dibandingkan mereka tanpa HIV15. Dokumen ini diunduh dari situs web Yayasan Spiritia http://spiritia.or.id/ Pedoman penatalaksaan koinfeksi malaria dan HIV Sebaliknya, infeksi HIV tidak meningkatkan risiko dalam ukuran beratnya penyakit di antara orang dewasa yang sebagian kebal dari daerah dengan penularan yang lebih stabil11. Keadaan lebih rumit pada anak. Penelitian awal di antara anak kecil terinfeksi HIV tidak memberi kesan adanya peningkatan pada frekuensi dan kepadatan parasitemia yang dikaitkan dengan infeksi HIV16,17. Data yang lebih baru memberi kesan adanya peningkatan pada frekuensi dan kepadatan parasitemia pada anak lebih tua yang terinfeksi HIV (berusia sampai dengan lima tahun) dibandingkan dengan mereka tanpa HIV18. Seperti dengan orang dewasa, anak yang lebih tua terinfeksi HIV mungkin berisiko lebih tinggi terhadap malaria klinis akibat kerusakan kekebalan yang didapat terhadap malaria akibat HIV. Anak kecil terinfeksi HIV di Kenya berisiko lebih tinggi untuk anemia berat dan dirawat inap akibat malaria19. Data terbatas dari daerah non-endemis malaria juga memberi kesan bahwa HIV dikaitkan dengan malaria yang lebih berat pada anak yang lebih tua20. Hasil pengobatan malaria. Data uji coba klinis prospektif dari Kenya menunjukkan bahwa di antara
orang dewasa dengan malaria yang tidak rumit diobati dengan sulfadoksin-pirimetamin (SP), risiko
kegagalan 28 hari setelah pengobatan adalah lebih tinggi secara bermakna di antara orang dewasa
terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) dibandingkan kelompok tidak terinfeksi HIV21.
Dalam analisis multivariat, gabungan infeksi HIV dengan jumlah CD4 <200 dan anemia adalah satu-
satunya faktor risiko yang bermakna untuk kegagalan pengobatan pada 28 hari. Hasil serupa diamati pada
orang dewasa Zambia dengan malaria yang tidak rumit22. Resistansi yang luas terhadap SP mendorong
beberapa negara agar mengambil kebijakan yang memakai terapi kombinasi mengandung artemisinin
(ACT) sebagai pengobatan lini pertama untuk malaria. Penilaian apakah tekanan kekebalan terkait HIV
mempengaruhi kemanjuran ACT secara buruk pada pengobatan malaria adalah penting.
Dampak malaria pada HIV
Viral load dan penularan. Seperti yang terjadi dengan TB dan infeksi oportunistik penting yang lain,
peristiwa malaria dikaitkan dengan peningkatan pada viral load HIV48. Penelitian model memberi kesan
bahwa peningkatan ini dapat mempengaruhi penularan HIV49. Pada ibu hamil, penelitian baru juga
menegaskan bahwa parasitemia malaria berhubungan dengan peningkatan pada kepekatan HIV, dengan
besarnya serupa dengan yang diamati pada orang dewasa yang tidak hamil dan terinfeksi tanpa gejala23.
Penularan HIV dari ibu-ke-bayi (MTCT). Malaria di plasenta juga dikaitkan dengan peningkatan pada
reseptor CCR5 di makrofag plasenta24 dan peningkatan pada viral load25, yang meningkatkan
kemungkinan bahwa malaria plasenta dapat mengakibatkan peningkatan pada MTCT HIV. Namun data
mengenai dampak malaria selama kehamilan pada risiko MTCT HIV bertentangan. Satu penelitian di
Uganda menunjukkan peningkatan pada MTCT di ibu dengan malaria plasenta26, tetapi beberapa
penelitian di Kenya tidak menunjukkan hubungan ini27,28.
Penularan melalui transfusi darah. Oleh karena anemia yang disebabkan oleh P. falciparum tetap
sering menjadi indikasi untuk transfusi darah, anemia malaria dapat berdampak tak langsung secara
penting pada risiko penularan HIV29. Perbaikan pada praktek pengumpulan dan tes darah mengarah pada
perbaikan di keamanan transfusi di Afrika30,31, tetapi hanya sedikit negara melakukan skrining darah
secara universal.
Manifestasi klinis
Pasien dengan malaria dapat menunjukkan berbagai gejala dan keparahan yang luas tergantung pada faktor seperti spesies yang menularkan dan tingkat kekebalan yang didapat pada induk. Seperti dicatat di atas, orang dengan kekebalan tertekan oleh HIV di daerah endemis dapat mengalami kehilangan kekebalan terhadap malaria, dan orang dewasa dengan kekebalan yang tertekan oleh HIV dengan sedikit atau tidak ada pajanan sebelumnya pada malaria (misalnya pelancong) mungkin berisiko lebih tinggi terhadap hasil yang buruk32. Di antara orang yang tidak kebal, gejala malaria yang umum termasuk demam, panas-dingin, mialgia, artralgia, sakit kepala, diare, muntah dan tanda tidak khas lain. Splenomegali, anemia, trombositopenia, disfungsi paru atau ginjal, dan masalah neurologis juga mungkin hadir. Secara klasik, serangan demam Pedoman penatalaksaan koinfeksi malaria dan HIV terjadi setiap 48 jam untuk malaria P. falciparum, P. vivax, dan P. Ovale, dan setiap 72 jam dengan P. malariae. Namun gejala klasik sangat beraneka ragam, dan mungkin tidak hadir. Infeksi malaria non-rumit dapat melanjut ke penyakit berat atau kematian dalam hitungan jam. Malaria dengan gejala SSP sangat tak menyenangkan. Malaria serebral berarti koma yang tidak dapat dibangun yang tidak terkait dengan penyebab lain pada pasien terinfeksi P. falciparum; di Afrika, angka kematian dengan malaria serebral mendekati 40%33-35. Risiko penyakit berat dan rumit meningkat pada pasien dengan tingkat parasitemia yang tinggi dan tanpa kekebalan sebagian. Asidosis metabolik tampaknya manifestasi penting dari malaria yang berat dan menjadi tanda prognosis yang buruk36. Komplikasi akut yang lain termasuk kegagalan ginjal, hipoglisemia, koagulasi intravaskular diseminata, syok, dan edema paru yang akut37. P. falciparum adalah spesies yang bertanggung jawab untuk penyakit berat dan kematian; malaria yang berat atau gawat jarang terjadi akibat infeksi dengan spesies lain. Kekecualian yang jarang adalah pemecahan limpa, yang dapat terjadi dengan malaria non-falciparum yang akut38. Diagnosis
Diagnosis malaria harus dipertimbangkan pada semua pasien berdemam yang pernah mengunjungi atau tinggal di daerah endemis malaria atau pernah menerima produk darah, jaringan atau organ dari orang yang pernah ke daerah tersebut. Beberapa cara diagnosis tersedia, termasuk diagnosis mikroskopik, tes deteksi antigen, tes berdasarkan PCR, dan tes darah. Pemeriksaan mikroskopik langsung terhadap parasit intraselular dengan penodaan pada darah adalah prosedur standar untuk diagnosis definitif pada hampir semua rangkaian. Pada orang yang tidak kebal, gejala untuk berkembang sebelum tingkat parasitemia menjadi terdeteksi. Oleh karena itu, beberapa pemeriksaan darah mungkin dibutuhkan untuk benar-benar menyingkirkan diagnosis malaria pada pasien bergejala. Pencegahan pajanan
Infeksi dengan P. falciparum pada orang terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 yang rendah dan ibu hamil
tanpa memandang status HIV-nya dapat lebih berat dibandingkan pada orang lain. Oleh karena itu tidak
ada rejimen kemoprofilaksis yang 100% efektif, orang terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 yang rendah
dan perempuan yang hamil atau mungkin akan menjadi hamil harus diusulkan untuk menghindari
perjalanan ke daerah dengan penularan malaria bila mungkin (AIII). Apabila perjalanan ada daerah
malaria tidak dapat ditunda, penggunaan rejimen kemoprofilaksis yang efektif adalah penting, disertai
dengan kewaspadaan secara hati-hati terhadap tindakan personal untuk mencegah gigitan nyamuk.
Pencegahan penyakit
Di daerah endemis malaria, strategi untuk mencegah malaria dan dampaknya termasuk pengendalian
vektor, profilaksis, dan pengobatan pencegahan sekali-sekali dalam kehamilan. Untuk pelancong
(termasuk Odha) ke daerah malaria, kombinasi kemoprofilaksis dan tindakan perlindungan personal dapat
sangat efektif untuk mencegah malaria. Satu dari tiga obat diusulkan di AS untuk profilaksis: atovakuon
proguanil, meflokuin atau doksisiklin. [Di Indonesia, klorokuin diusulkan52] Usulan untuk profilaksis
adalah sama untuk orang terinfeksi HIV. Kejadian malaria menjadi lebih rendah secara bermakna pada
orang dewasa dengan HIV di Afrika yang menerima profilaksis kotrimoksazol39,50. Sebuah penelitian baru
terhadap orang terinfeksi HIV di Uganda menunjukkan bahwa beban malaria diringankan 70% dengan
kotrimoksazol, kemudian dikurangi 50% lagi waktu terapi antiretroviral disediakan, dan akhirnya 50%
lagi dengan penyediaan kelambu diresapi insektisida40. Namun kotrimoksazol tidak sama efektif sebagai
rejimen profilaksis antimalaria dibandingkan obat antimalaria yang diusulkan. Oleh karena itu, pelancong
terinfeksi HIV yang memakai profilaksis dengan kotrimoksazol sebaiknya tidak tergantung pada obat
tersebut untuk kemoprofilaksis terhadap malaria (AIII).
Pengobatan penyakit
Oleh karena malaria falciparum dapat berlanjut dalam hitung jam menjadi penyakit berat atau kematian, semua orang terinfeksi HIV dan infeksi P. falciparum yang ditetapkan atau diduga harus dirawat inap untuk penilaian, permulaan pengobatan, dan agar tanggapan terhadap pengobatan dapat diamati. Secara ideal, pengobatan antimalaria sebaiknya tidak dimulai sebelum diagnosis ditegaskan dengan pemeriksaan Pedoman penatalaksaan koinfeksi malaria dan HIV laboratorium. Namun, pengobatan sebaiknya tidak ditunda bila malaria diduga secara kuat tetapi hasil pemeriksaan laboratorium masih ditunggu. Pilihan pengobatan dituntun oleh tingkat parasitemia dan spesies Plasmodium yang dikaitkan, status
klinis pasien, dan kemungkinan kerentanan obat terhadap spesies yang menginfeksi sebagaimana
ditentukan oleh tempat penularan infeksi. Walau tanggapan yang kurang baik diamati pada orang dengan
penekanan kekebalan oleh HIV yang diobati dengan obat antimalaria yang lebih tua misalnya sulfadoksin
pirimetamin21,22, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa tanggapan pada orang tersebut adalah kurang
baik bila obat yang diusulkan sekarang dipakai. Oleh karena itu, untuk pasien terinfeksi HIV yang
menjadi terinfeksi Plasmodium, usulan pengobatan adalah sama seperti untuk pasien tidak terinfeksi HIV
(AIII). Usulan pengobatan antimalaria secara rinci di AS baru ditinjau41.
Pemantauan dan dampak buruk, termasuk sindrom pemulihan kekebalan
Beberapa interaksi obat yang berpotensi dapat terjadi antara obat antimalaria dan HIV, dan interaksi ini baru ditinjau42. Interaksi atovakuon dan doksisiklin dengan obat antiretroviral (ARV) dan obat yang dipakai untuk mencegah dan mengobati infeksi oportunistik dirangkum sebelumnya43,51. Meflokuin dengan dosis yang diulang diamati mengurangi area under the concentration-time curve ritonavir 31% dan kepekatan ritonavir dalam plasma 36%. Data yang cukup belum tersedia untuk mengusulkan penyesuaian takaran. Tingkat kuinin mungkin ditingkatkan oleh rejimen yang mengandung ritonavir; sebaliknya, nevirapine dan efavirenz dapat mengurangi tingkat kuinin dalam plasma. Interaksi yang berpotensi dapat terjadi antara ritonavir dan klorokuin; namun makna interaksi ini secara klinis belum jelas, dan sampai data yang lebih lanjut tersedia, penyesuaian takaran tidak diusulkan. Protease inhibitor dan NNRTI berpotensi mempengaruhi metabolisme obat yang mengandung artemisinin44, tetapi dampak keseluruhan dan makna secara klinis tetap belum jelas. Belum dilaporkan sindrom pemulihan kekebalan (IRIS) terkait malaria. Penanganan kegagalan pengobatan
Penanganan kegagalan pengobatan untuk orang terinfeksi HIV tidak berbeda dengan orang tidak terinfeksi HIV kecuali terkait interaksi obat dan toksisitas obat yang dibahas di atas. Pencegahan kekambuhan
Perhatian khusus selama kehamilan
Malaria waktu kehamilan mempengaruhi baik ibu maupun janin. Infeksi P. falciparum dalam kehamilan dapat meningkatkan risiko penyakit berat dan anemia pada ibu dan risiko lahir mati, lahir dini, dan berat badan bayi yang rendah saat lahir45. Diagnosis malaria pada ibu hamil adalah sama dengan perempuan tidak hamil. Untuk ibu hamil dengan diagnosis malaria tidak rumit disebabkan oleh P. malariae, P. ovale, serta P.
Vivax
dan P. falciparum yang rentan terhadap klorokuin, pengobatan dini dengan klorokuin diusulkan41.
Untuk ibu hamil dengan diagnosis infeksi P. Vivax yang resistan terhadap klorokuin, pengobatan dengan
kuinin selama tujuh hari diusulkan (AIII). Untuk ibu hamil dengan diagnosis malaria tidak rumit
disebabkan oleh P. falciparum resistan terhadap klorokuin, pengobatan dini dengan kuinin dan
klindamisin diusulkan.
Berdasarkan pengalaman yang luas dengan penggunaannya, klorokuin dianggap obat pilihan untuk profilaksis dan pengobatan terhadap jenis malaria yang rentan pada kehamilan. Walau kuinin dengan takaran tinggi dikaitkan dengan peningkatan pada risiko cacat lahir (terutama ketulian) pada beberapa jenis hewan dan manusia (umumnya waktu percobaan aborsi), penggunaan takaran terapeutik waktu hamil dianggap aman41,46. Oleh karena potensi hipoglisemia, tingkat glukosa pada ibu hamil yang diobati dengan kuinin, serta bayi yang baru lahir, sebaiknya dipantau. Penggunaan klindamisin tidak dikaitkan dengan cacat lahir. Oleh karena data terbatas, atovakuon-proguanil atau meflokuin tidak diusulkan untuk pengobatan pada kehamilan dan sebaiknya hanya dipakai bila kuinin plus klindamisin atau monoterapi Pedoman penatalaksaan koinfeksi malaria dan HIV kuinin tidak tersedia atau tidak tertahan46. Data dari hewan dan manusia mengenai penggunaan dosis meflokuin untuk profilaksis tidak menunjukkan teratogenisitas. Tetrasiklin tidak diusulkan pada kehamilan karena peningkatan risiko hepatotoksisitas pada ibu serta mewarnai gigi dan tulang janin. Penggunaan primakuin waktu kehamilan tidak diusulkan karena pengalaman terbatas dengan penggunaannya dan potensi untuk kekurangan G6PD pada janin. Setelah pengobatan, semua ibu hamil dengan P. vivax dan P. ovale sebaiknya diberi profilaksis klorokuin selama kehamilan untuk menghindari kambuh. Untuk ibu hamil dengan P. vivax yang didapat di daerah dengan jenis yang resistan terhadap klorokuin, meflokuin seminggu sekali dapat dipakai sebagai profilaksis. Perempuan dapat diobati dengan primakuin setelah melahirkan bila hasil tes skrining G6PD adalah normal. Referensi
1. Chandramohan D, Greenwood BM. Is there an interaction between human immunodeficiency virus and Plasmodium falciparum? Int J Epidemiol 1998;27:296–301. 2. Nguyen-Dinh P, Greenberg AE, Mann JM, et al. Absence of association between Plasmodium falciparum malaria and human immunodeficiency virus infection in children in Kinshasa, Zaire. Bull World Health Organ 1986;65:607–13. 3. Slutsker L, Marston BJ. HIV and malaria: interactions and implications. Curr Opin Infect Dis 2007;20:3–10. 4. Mungai M, Tegtmeier G, Chamberland M, Parise M. Transfusion-transmitted malaria in the United States from 1963 through 1999. N Engl J Med 2001;344:1973–8. 5. Austin SC, Stolley PD, Lasky T. The history of malariotherapy for neurosyphilis: Modern parallels. JAMA 1992;268:516–9. 6. CDC. Update: self-induced malaria associated with malariotherapy for Lyme disease—Texas. MMWR 1991;40:665–6. 7. World Health Organization. World Malaria Report, 2005. Geneva: World Health Organization and UNICEF; 2005. 8. Snow RW, Craig M, Deichmann U, Marsh K. Estimating mortality, morbidity and disability due to malaria among Africa’s non-pregnant population. Bull World Health Organ 1999;77:624–40. 9. World Health Organziation. World malaria situation in 1994: part I—Population at risk. Wkly Epidemiol Rec 1997;72:269–74. 10. Snow RW, Marsh K. The consequences of reducing transmission of Plasmodium falciparum in Africa. Adv Parasitol 2002:52:235–64. 11. Whitworth J, Morgan D, Quigley M, et al. Effect of HIV-1 and increasing immunosuppression on malaria parasitaemia and clinical episodes in adults in rural Uganda: a cohort study. Lancet 2000;356:1051–6. 12. Patnaik P, Jere CS, Miller WC, et al. Effects of HIV-1 serostatus, HIV-1 RNA concentration, and CD4 cell count on the incidence of malaria infection in a cohort of adults in rural Malawi. J Infect Dis 2005;192:984–91. 13. Laufer MK, van Oosterhout JJ, Thesing PC, et al. Impact of HIV-associated immunosuppression on malaria infection and disease in Malawi. J Infect Dis 2006;193:872–8. 14. Cohen C, Karstaedt A, Frean J, et al. Increased prevalence of severe malaria in HIV-infected adults in South Africa. Clin Infect Dis 2005;41:1631–7. 15. Grimwade K, French N, Mbatha DD, et al. HIV infection as a cofactor for severe falciparum malaria in adults living in a region of unstable malaria transmission in South Africa. AIDS 2004;18:547–54. 16. Greenberg AE, Nsa W, Ryder RW, et al. Plasmodium falciparum malaria and perinatally acquired human immunodeficiency virus type 1 infection in Kinshasa, Zaire: a prospective, longitudinal cohort study of 587 children. N Engl J Med 1991;325:105–9. 17. Kalyesubula I, Musoke-Mudido P, Marum L, et al. Effects of malaria infection in human immunodeficiency virus type 1-infected Ugandan children. Pediatr Infect Dis J 1997;16:876–81. 18. Mermin J, Lule J, Ekwaru JP, et al. Effect of co-trimoxazole prophylaxis on morbidity, mortality, CD4-cell count, and viral load in HIV infection in rural Uganda. Lancet 2004;364:1428–34. 19. van Eijk AM, Ayisi JG, Ter Kuile FO, et al. Malaria and human immunodeficiency virus infection as risk factors for anemia in infants in Kisumu, western Kenya. Am J Trop Med Hyg 2002;67:44–53. 20. Grimwade K, French N, Mbatha DD, et al. Childhood malaria in a region of unstable transmission and high human immunodeficiency virus prevalence. Pediatr Infect Dis J 2003;22:1057–63. 21. Shah SN, Smith EE, Obonyo CO, et al. HIV immunosuppression and antimalarial efficacy: sulfadoxine-pyrimethamine for treatment of uncomplicated malaria in HIV-infected adults in Siaya, Kenya. J Infect Dis 2006;194:1519–28. 22. Van Geertruyden JP, Mulenga M, Mwananyanda L, et al. HIV-1 immune suppression and antimalarial treatment outcome in Zambian adults with uncomplicated malaria. J Infect Dis 2006;194:917–25. 23. ter Kuile FO, ME P, FH V, et al. The burden of co-infection with human immunodeficiency virus type 1 and malaria in pregnant women in sub-saharan Africa. Am J Trop Med Hyg 2004;71(Suppl 2):41-54. 24. Tkachuk AN, Moormann AM, Poore JA, et al. Malaria enhances expression of CC chemokine receptor 5 on placental macrophages. J Infect Dis 2001;183:967–72. 25. Mwapasa V, Rogerson SJ, Molyneux ME, et al. The effect of Plasmodium falciparum malaria on peripheral and placental HIV-1 RNA concentrations in pregnant Malawian women. AIDS 2004;18:1051–9. 26. Brahmbhatt H, Kigozi G, Wabwire-Mangen F, et al. The effects of placental malaria on mother-to-child HIV transmission in Rakai, Uganda. AIDS 2003;17:2539–41. 27. Inion I, Mwanyumba F, Gaillard P, et al. Placental malaria and perinatal transmission of human immunodeficiency virus type 1. J Infect Dis 2003;188:1675–8. 28. Ayisi JG, van Eijk AM, Newman RD, et al. Maternal malaria and perinatal HIV transmission, Western Kenya. Emerg Infect Dis 2004;10:643–52. 29. Greenberg AE, Nguyen-Dinh P, Mann JM, et al. The association between malaria, blood transfusions, and HIV seropositivity in a pediatric population in Kinshasa, Zaire. JAMA 1988;259:545–9. 30. Moore A, Herrera G, Nyamongo J, et al. Estimated risk of HIV transmission by blood transfusion in Kenya. Lancet 2001;358:657–60. 31. Heyns Adu P, Benjamin RJ, Swanevelder JP, et al. Prevalence of HIV-1 in blood donations following implementation of a structured blood safety policy in South Africa. JAMA 2006;295:519–26. Pedoman penatalaksaan koinfeksi malaria dan HIV 32. Matteelli A, Casalini C, Bussi G, et al. Imported malaria in an HIV-positive traveler: a case report with a fatal outcome. J Travel Med 2005;12:222–4. 33. World Health Organization. Severe and complicated malaria. Trans R Soc Trop Med Hyg 1990;84(Suppl 2):1-65. 34. Greenberg AE, Ntumbanzondo M, Ntula N, Mawa L, Howell J. Hospital-based surveillance of malaria-related paediatric morbidity and mortality in Kinshasa, Zaire. Bull World Health Organ 1989;67:189–96. 35. Molyneux ME, Taylor TE, Wirima JJ, Borgstein A. Clinical features and prognostic indicators in paediatric cerebral malaria: a study of 131 comatose Malawian children. Q J Med 1989;71:441–59. 36. English M, Sauerwein R, Waruiru C, et al. Acidosis in severe childhood malaria. Q J Med 1997;90:263–70. 37. Marsh K, Forster D, Waruiru C, et al. Indicators of life-threatening malaria in African children. N Engl J Med 1995;332:1399–404. 38. Zingman BS, Viner BL. Splenic complications in malaria: case report and review. Clin Infect Dis 1993;16):223-32. 39. Hamel MJ, Greene C, Chiller T, et al. A prospective study of daily cotrimoxazole prophylaxis in Kenyan HIV-Infected Adults and the development of antimicrobial resistance. Am J Trop Med 2004;71:268. 40. Mermin J, Ekwaru JP, Liechty CA, et al. Effect of co–trimoxazole prophylaxis, antiretroviral therapy, and insecticide-treated bednets on the frequency of malaria in HIV-1-infected adults in Uganda: a prospective cohort study. Lancet 2006;367:46–61. 41. Griffith KS, Lewis LS, Mali S, Parise ME. Treatment of malaria in the United States: a systematic review. JAMA 2007;297:2264–77. 42. Khoo S, Back D, Winstanley P. The potential for interactions between antimalarial and antiretroviral drugs. AIDS 2005;19:995–1005. 43. CDC. Treating opportunistic infections among HIV-infected adults and adolescents: recommendations from CDC, the National Institutes of Health, and the HIV Medicine Association/Infectious Diseases Society of America. MMWR 2004;53(No. RR-15). 44. Parikh S, Gut J, Istvan E, et al. Antimalarial activity of human immunodeficiency virus type 1 protease inhibitors. Antimicrob Agents Chemother 2005;49:2983–5. 45. Desai M, ter Kuile FO, Nosten F, et al. Epidemiology and burden of malaria in pregnancy. Lancet Infect Dis 2007;7:93–104. 46. McGready R, Thwai KL, Cho T, et al. The effects of quinine and chloroquine antimalarial treatments in the first trimester of pregnancy. Trans Royal Soc Trop Med Hyg 2002;96:180–4. 47. Supparatpinyo K, Khamwan C, Baosoung V, Nelson KE, Sirisanthana T. Disseminated Penicillium marneffei infection in Southeast Asia. Lancet 1994;344:110–3. 48. Kublin JG, Patnaik P, Jere CS, et al. Effect of Plasmodium falciparum malaria on concentration of HIV-1-RNA in the blood of adults in rural Malawi: a prospective cohort study. Lancet 2005;365:233–40. 49. Abu-Raddad LJ, Patnaik P, Kublin JG. Dual infection with HIV and malaria fuels the spread of both diseases in sub-Saharan Africa. Science 2006;314:1603–6. 50. Anglaret X, Chene G, Attia A, et al. Early chemoprophylaxis with trimethoprim-sulphamethoxazole for HIV-1-infected adults in Abidjan, Cote d’Ivoire: a randomised trial. Cotrimo-CI Study Group. Lancet 1999;353:1463–8. 51. CDC. Guidelines for preventing opportunistic infections among HIV-infected persons–2002. Recommendations of the U.S. Public Health Service and the Infectious Diseases Society of America. MMWR 2002;51(No. RR-8). 52. Situs web

Source: http://www.spiritia.or.id/cst/dok/c1052.pdf

Constituintes químicos de cochlospermum regium (martius e schrank) pilger (bixaceae)

Anais do VIII Seminário de Iniciação Científica e V Jornada de Pesquisa e Pós-Graduação UNIVERSIDADE ESTADUAL DE GOIÁS Constituintes Químicos de Cochlospermum regium (Martius e Schrank) Pilger (Bixaceae) *1ANTUNES, M. N.; 2LIMA, R. S.; 2OLIVEIRA, C. R.; 2PEREIRA, A. G.; 1. Laboratório de Bioquímica e Parasitologia, Fundação de Medicina Tropical do Tocantins (FMT-

Commissioners

COMMISSIONERS ___________ S T A T E O F M A R Y L A N D DOUGLAS R. M. NAZARIAN CHAIRMAN HAROLD D. WILLIAMS LAWRENCE BRENNER KELLY SPEAKES-BACKMAN W. KEVIN HUGHES P U B L I C S E R V I C E C O M M I S S I O N MEDIA CONTACT: Regina L. Davis, [email protected] 410-767-8054 / 443-286-6870 (cell) February 17, 2012 FOR IMMEDIATE RELEASE Maryl

Copyright © 2010-2018 Pharmacy Drugs Pdf